Rabu, 15 Januari 2014

Opini

Cermat Dalam Berbahasa
Oleh Eva Rahmawati

         Bahasa merupakan alat interaksi dan komunikasi yang umum digunakan manusia, bahasa dan manusia tidak dapat terpisahkan. Mengutip pendapat Abdul Chaer dalam Psikolinguistik (2002), fungsi bahasa adalah, bahwa bahasa itu adalah alat interaksi, sosial dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep, atau juga perasaan.   
             Era globalisasi tidak hanya mempengaruhi teknologi, gaya hidup, fesyen, budaya, dan kebutuhan yang lainnya tak terkecuali bahasa, terutama bahasa Indonesia. Di era globalisasi ini, perkembangan kosa kata yang begitu pesat menjadikan bahasa Indonesia yang sesuai kaidah jarang digunakan, hal ini mengakibatkan banyaknya kesalahan dalam berbahasa, tanpa kita sadari dapat diartikan berbeda dari apa yang diucapkan, oleh pendengar. 
    Sebenarnya, dalam menggunakan bahasa, merupakan suatu kreatifitas untuk menciptakan bahasa baru dan menambah perbendaharaan kata. Pada KBBI dalam waktu  -/+ 20 tahun pada edisi ke-4  memuat lebih dari 90.000 lema yang semula hanya 62.100 lema pada tahun 1988. Hal ini menunjukan betapa pesatnya pembentukan kata baru setiap tahunnya. 
        Bahasa Indonesia adalah bahasa terpenting bagi Negara Indonesia, selain sebagai bahasa pemersatu dari suku-suku yang ada di Indonesia, bahasa Indonesia berfungsi sebagai jati diri bangsa. Ironisnya, bahasa saat ini banyak dipengaruhi oleh bahasa asing, bahasa yang dimaksud bukan bahasa asing yang dimiliki bangsa lain, melainkan bahasa yang jarang digunakan maupun didengarkan sebelumnya dan tidak terdapat didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI), sehingga terbentuk kosakata baru. Bahasa gaul merupakan salah satu bahasa yang diminati para remaja, karena bahasa gaul hanya dapat dimengerti  dan dijadikan kode bahasa, sehingga hanya mereka yang mengerti arti dari kata tersebut pada saat berkomunikasi dengan sesama komunitas. Menurut Harimurti Kridalaksana (Kamus Linguistik), bahasa gaul ialah ragam nonstandar bahasa Indonesia yang lazim di Jakarta pada tahun 1980-an hingga kini yang menggantikan bahasa prokem yang lebih lazim pada tahun – tahun sebelumnya, ragam ini semula diperkenalkan oleh generasi muda yang mengambil dari kelompok waria dan masyarakat terpinggir lainnya.
             Lalu, siapakah yang patut menjadi anutan dalam berbahasa Indonesia yang baik dan benar? menurut buku 1001 Kesalahan Berbahasa ( Zaenal Afirirn dan Farid Hadi) yang menjadi panutan ialah; Pertama, Kepala Negara mempunyai pengaruh yang sangat penting bagi masyarakatnya. Setiap kata selalu diperhatikan rakyatnya, demikian juga pemakaian bahasa presiden atau wakil presiden akan berpengaruh bagi pemakai yang lainnya. Kata yang diungkapkan oleh presiden atau wakil presiden akan dijadikan contoh dan ditiru oleh para pejabat yang lain dan oleh masyarakat luas.  Contoh ucapan Suharto yang mengganti fonem “a” menjadi “e” pada afiks “kan”, misalnya memerintahkan menjadi memerintahken tentunya ditiru oleh masyarakat lain, karena sebagai penguasa oleh masyarakat dianggap hal itu tidak salah. 
            Kedua, guru dan dosen terutama di bidang bahasa Indonesia, guru dan dosen harus menguasai lebih dahulu kaidah – kaidah bahasa yang berlaku, bahkan agar para siswa dan mahasiswa  terbiasa berbahasa yang benar, guru dan dosen lain pun diharapkan dapat membantu tugas guru bahasa Indonesia. 
Ketiga, wartawan dan penerbit sangat besar peranannya dalam penggunaan bahasa. Oleh karena itu, suatu hal yang masuk akal jika wartawan dan penerbit perlu meningkatkan kemahiran dalam penggunaan bahasa yang baik dan benar dalam tulisan-tulisan mereka walau dilembaga tersebut mampunyai bahasa tersendiri yaitu bahasa jurnalistik. Tidak hanya surat kabar saja yeng berpengaruh dalam penggunaan bahasa yang baik dan benar dalam memberikan informasi, radiopun perlu diperhatikan, karena masih banyak penyiar yang menggunakan bahasa dan mengabaikan ajakan untuk mengguanakan bahasa Indonsia yang baik dan benar, selain itu, penyiar lebih senang memamerkan bahasa-bahasa baru atau alay seperti kata serius menjadi ciyus, demi apa ? menjadi miapa?. Seharusnya radio bersifat lebih mendidik dan bermanfaat bagi pendengar, apalagi radio dapat dijadikan anutan dalam penggunaan bahasa baku terutama bagi remaja saat ini.
Penggunaan EYD
         Selain pejabat dan tokoh yang sudah disebutkan, sebenarnya masih banyak pejabat atau pemimpin harus menjadi anutan dalam berbahasa yang benar. Tidak hanya kesalahan dalam berbahasa, kesalahan EYD pun kerap terjadi misalnya pengguaan kata penghubung “dan”, tak jarang penulis menemukan kata penghubung “dan” pada awal kalimat maupun paragraf, yang biasanya penulis menemukannya di genre sastra, seperti novel dan cerpen. Kata “dan” digunakan sebagai kata penghubung yang menghubungkan dua kata atau lebih yang setingkat misalnya  ibu dan ayah, penjual dan pembeli, dan sebagainya.
           Pada dasarnya setiap orang sepantasnya memberi contoh yang tepat bagi orang-orang di sekitarnya. Kesalahan berbahasa dapat disebabkan beberapa faktor yaitu,  petutur menggunakan bahasa tidak sesuai dengan  kaidah dan tatabahasa, karena petutur sudah memiliki bahasa tersendiri contohnya bahasa yang digunakan preman atau anak pinggiran seperti berbicara ngawur jadi bacot, orang tua jadi bonyok, dan bahasa waria (banci) seperti begitu jadi begindang, aku jadi eike. Pembentukan kalimat kurang tepat, tak jarang satu kalimat dapat diartikan lebih dari dua atau ambigu, penggunaan fonem yang seharusnya diluluhkan tidak diluluhkan ataupun sebaliknya, dan penggunaan tanda baca yang kurang diperhatikan. Padahal tanda baca sangat mempengaruhi arti atau maksud dari kalimat yang ditulis.
           Sebenarnya, kesalahan umum pemakaian bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari merupakan suatu hal yang wajar. Kesalahan umum berbahasa Indonesia timbul dikarenakan bahasa Indonesia sedang berkembang. Akan tetapi tidak berarti bahwa kesalahan berbahasa harus dibiarkan terus-menerus. Dengan segera, para pemakai bahasa harus berupaya meningkatkan penggunaan bahasa Indonesia yang sesuai dengan aturan yang berlaku.

Fajar Cirebon, 3 Januari 2014



Minggu, 27 Oktober 2013

Linguistik Strukturalis




2.1.  Linguistik Strukturalis
Kalau linguistik tradisional selalu menertapkan pola – pola tata bahasa Yunani dan Latin dalam mendeskripsikan suatu bahasa, maka linguistik struktural tidak lagi melakukan hal demikian. linguistik strukturalis berusaha mendeskripsikan suatu bahasa berdasarkan ciri atau sifat khas yang dimiliki bahasa itu. Pandangan ini adalah sebagai akibat dari konsep – konsep atau pandangan – pandangan baru terhadap bahasa dan studi bahasa yang dikemukakan oleh bapak linguistik modern, yaitu Ferdinand de Saussure. Maka itu dalam pembicaraan linguistik strukturalis ini, kita mulai dengan tokoh – tokoh tersebut, meskipun secara singkat dan sangat umum


2.2.  Aliran Swiss
Nama lengkapnya adalah Ferdinad De Saussure. Ia belajar di Leipzig, waktu itu ia sebagai mahasiswa. Pada usia 22 tahun, ia menyajikan sistem vokal bahasa Indo-Eropa. Ia menyelesaikan studinya pada tahun 1880 dengan Summa Cum Laude dengan disertasinya tentang penggunaan kasus genetif dalam bahasa sansekerta. Dalam tahun juga ia pindah ke Parisuntuk mengajar di Universitas Paris tentang bahas-bahasa sansekerta, Ghotia dan Jerman tinggi kuno. Sebagai ketua masyarakat linguitik di sana, ia memberikan pengaruhnya pada tiap kesempatan.
Dari tahun 1881-1889 ia mengajar mata kuliah bahas perbandingan. Pada tahun 1891 ia kembali ke Swiss dan mengajar linguistik umum. Ia meninggal pada tahun 1913 ia meninggal dunia. Karya yang terkenalnya adalah Cours de linguistique generale.
Feridnand de saussure (1857-1913) dianggap sebagai Bapak Linguistik Modern pandangan-pandangan yang dimuat dalam bukunya Course de Linguistique Generale yang disusun dan diterbitkan oleh Charles Bally dan Albert Sechehay tahun 1915 (jadi, dua tahun setahun setelah Saussure meninggal) berdasarkan catatan kuliah selama de Saussure memberi kuliah di Universitas Jenewa tahun 1906 – 1911. Buku tersebut sudah diterjemahkan kedalam berbagai bahasa; kedalam  bahasa Inggris diterjemahkan oleh Wade Baskin (terbit 1966) dan kedalam bahasa Indonesia diterjemahkan oleh Rahayu Hidayat (terbit 1988).
Pandangan yang dimuat dalam buku tersebut mengenai konsep:
(1)   Telaah Sinkronik dan Diakronik
Mengacu pada kajian bahasa oleh Saussure, bahasa dapat dikaji menurut waktu. Bila kajian bahasa dilakukan pada kurun waktu tertentu, kajian bahasa yang demikian berarti kajian bahasa secara sinkronik. Hasil kajiannya disebut linguistik sinkronik.
Sinkronik adalah kajian bahasa yang tidak dihubungkan dengan sejarah. Hal ini dikarenakan bahasa sebagai kenyataan sosial. Bahasa merupakan sistem tanda dan dapat diperiksa bentuk dan maknanya pada satu waktu. Dengan kata lain, untuk mengetahui bentuk suatu bahasa tidak harus selalu tergantung pada sejarah, karena bahasa memiliki zamannya sendiri. telaah bahasa secara sinkronik adalah mempelajari suatu bahasa pada suatu kurun waktu terentu saja. Misalnya, mempelajari bahasa Indonesia yang digunakan pada zaman Jepang atau pada masa tahun lima puluhan.
Kajian bahasa terkait dengan perubahan atau perkembangan bahasa dari kurun waktu tertentu hingga kurun waktu yang lain, maka kajian bahasa semacam ini digolongkan dalam kajian diakronin. Diakronik adalah kebalikan dari sinkronik. Dalam kajian ini, bahasa dihubungkan dengan suatu rezim tertentu. Sehingga untuk mengetahui bahasa, maka harus mengetahui rezim yang menggunakan bahasa tersebut. Telaah bahasa sacara diakronik adalah telaah bahasa sepanjang masa, atau sepanjang zaman bahasa itu digunakan oleh para penuturnya. Jadi, kalau mempelajari bahasa Indonesia secara diakronik, maka harus dimulai sejak zaman sriwijaya sampai zaman sekarang ini.
(2) Perbedaan Langue dan Parole
Bahasa dalam pandangan Saussure, disebut langage (dalam bahasa inggris, language), yang berarti ujaran manusia secara keseluruhan (human speech as a whole). Bahasa terdiri atas dua aspek : langue (system bahasa) dan parole (aktivitas bahasa)
Yang dimaksud dengan la langue adalah keseluruhan sistem tanda yang berfungsi sebagai alat komunikasi verbal antara para anggota suatu masyarakat bahasa, sifatnya abstrak. Sedangkan parole merupakan bahasa sebagai ujaran dan bersifat konkrit. Parole adalah aspek perseorangan bahasa, sedangkan langue adalah bagian sosial bahasa. la parole adalah pemakaian atau realisasi langue oleh masing-masing anggota masyarakat bahasa; sifatnya konkret karena parole itu tidak lain daripada realitas fisik yang berbeda dari orang yang satu dengan orang yang lain. Dalam hal ini menjadi obyek telaah linguistik adalah langue, yang tertentu saja dilakukan melalui parole, karena parole itulah wujud bahasa yang konkret, yang dapat diamati dan diteliti.
Langage adalah sebuah sistem lambang bunyi yang digunakan untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara verbal diantara sesama pemakai bahasa. Langage ini bersifat abstrak. [6] dan juga bersifat universal [7], sebab langage adalah satu sistem lambang bunyi yang digunakan manusia pada umumnya, bukan manusia pada suatu tempat atau masa tertentu. Dalam bahasa Indonesia langage bisa dipadankan dengan kata bahasa seperti terdapat dalam kalimat “ manusia mempunyai bahasa, binatang tidak. Jadi, penggunaan istilah bahasa dalam kalimat tersebut, sebagai padanan kata langage, tidak mengacu pada salah satu bahasa tertentu, melainkan mengacu pada bahasa umumnya sebagai sarana komunikasi manusia.
Istilah kedua dari konsep de Saussure [8]tentang bahasa adalah langue, [9] langue adalah sebuah sistem lambang bunyi yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat tertentu untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesamanya. Langue mengacu pada satu sistem lambang bunyi tertentu yang jika dipadankan dengan bahasa dalam bentuk kalimat “Joni belajar bahasa Arab, sementara Taufik belajar bahasa Sunda”. Sebagaimanalangage, langue juga punya pola, keteraturan, atau kaidah-kaidah yang dimiliki manusia, akan tetapi kaidah-kaidah itu bersifat abstrak alias tidak nyata-nyata digunakan.
Jika istilah langage dan langue bersifat abstrak, maka istilah yang ketiga dari konsep Saussure tentang bahasa yaitu Parole itu bersifat konkret. Karena parole itu merupakan pelaksanaan dari langue dalam bentuk ujaran/tuturan yang dilakukan oleh anggota masyarakat di dalam berinteraksi atau berkomunikasi dengan sesamanya. Dalam bahasaIndonesia bisa dipadankan dengan bahasa dalam kalimat “ Kalau Kiayi Abd Wafi pidato, bahasanya penuh dengan kata demikian”. Jadi parole itu bersifat nyata, dan dapat diamati secara empiris.

(3)     Perbedaan Signifiant dan Signifié
Signifiant dan signifié. Ferdinand de Saussure mengemukakan teori bahwa setiap tanda atau tanda linguistik (signé atau signé linguistique) dibentuk oleh dua buah komponen yang tidak terpisahkan, yaitu komponen signifiant dan komponen signifié. 
Signifiant  adalah citra bunyi atau kesan psikologis bunyi yang timbul dalam pikiran kita, dan signifié adalah pengertian atau kesan makna yang ada dalam pikiran kita. Untuk lebih jelas, ada yang menyamakan signé itu sama dengan kata; signifieé sama dengan makna; dan signifiant sama dengan bunyi bahasa dalam bentuk urutan fonem-fonem tertentu. Hubungan signifiant dengan signifié sangat erat, karena keduanya merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Perhatikan bagan berikut:


    Signifie (makna)

Signé linguistiqué 
(kata)
                                                      Significant (bentuk)
Sebagai tanda linguistik, signifiant dan signifié itu biasanya mengacu pada sebuah acuan atau referen yang berada di alam nyata, sebagai sesuatu yang ditandai oleh signé linguistiqué itu. Sebagai contoh kita ambil kata bahasa Jawa wit yang berarti ‘pohon’ dan mengacu pada sebuah acuan, yaitu sebuah pohon. Ketiganya dapat digambarkan sebagai berikut :
                                   
  Wit                                                      sebuah pohon 
[w,i,t]
(4)   Hubungan Sintagmatik dan Paradigmatik
Sintagmatik adalah hubungan antara unsur-unsur yang terdapat dalam suatu tuturan, yang tersusun secara berurutan, bersifat linier. Hubungan sintagmatik ini terdapat, baik dalam tataran fonologi, maupun sintaksis. Hubungan sintagmatik pada tataran fonologi tampak pada urutan fonem-fonem pada sebuah kata yang tidak dapat diubah tanpa merusak makna kata itu. Umpamanya pada kata kita terdapat hubungan fonem-fonem dengan urutan /k, i, t, a/. Apabila urutannya diubah, maka maknanya akan berubah, atau tidak bermakna sama sekali. Perhatikan pada bagan berkut :
            k          i           t           a
            k          i           a          t
            k          a          i           t
            k          a          t           i          
            i           k          a          t
Hubungan sintaksis pada tataran morfologi tampak pada urutan morfem – morfem pada suatu kata, juga tidak dapat diubah urutan merusak makna dari kata tersebut. Ada kemungkinan maknanya berubah, tetapi ada kemungkinn pula tak bermakna sama sekali. Umpamanya kata segitiga sama dengan tigasegi,  kata barangkali  tidak sama dengan kalibarang dan kata tertua tidak sama dengan ruater. Hubungan sintaksis pada tataran sintaksis tampak pada urutan kata – kata yang mungkin dapat diubah, tetapi mungkin juga tidak dapat diubah tampak menguabh makna kalimat tersebut, atau menyebabkan tak bermakna sama sekali. Perhatikan contoh kalimat (a) yang berurutan katanya bisa diubah tanpa mengubah makna kalimat ; dan contoh kalimat (b) yang urutan katnya diubah menyebabkan makna kalimatnya berubah.
(a)    Hari ini barangkali dia sakit
        Barangkali dia sakit hari ini
        Dia sakit hari ini barangkali
        Dia sakit barangkali hari ini
(b)   Nita melihat Dika                          Dika melihat Nit
       Ini bir baru                                    Ini baru bir
Hubungan paradigmatik adalah hubungan antara unsur – unsur yang terdapat dalam suatu tuturan dengan unsur – unsur sejenis yang tidak terdapat dalam tuturan yang bersangkutan. Hubungan paragdimatik dapat dilihat dengan cara substitusi, baik pada tataran fonologi, morfologi, maupun tataran sintaksis hubungan paradigmatik pada tataran fonologi tampak pada contoh (c) antara bunyi  /r/,/k/,/b/,/m/, dan /d/ yang terdapat pada tataran kata – kata rata, kata, bata, mata, dan data. Hubungan paradigmatik pada tataran morfologi tampak pada contoh (d) antara prefiks me-di, pe-, dan te- yang terdapat pada kata – kata merawat, dirawat, perawat, dan terawat. Sedangkan hubungan paradigmatik pada tataran sintaksis dapat dilihat contoh (e) antara kata – kata yang menduduki fungsi subjek, predikat dan objek.
(c)    r a t a                    
   k a t a      
   b a t a
   d a t a
(d)   me rawat
       di   rawat
       pe  rawat
       te   rawat
(e)    Ali   membaca   Koran
            Dia  memakai   baju
            Ani   makan      kue
Secara lengkap hubungan sintagmatik dan hubungan paradigmatic dapat kita gambarkan sebagai berikut :
Sintagmatik
   Ali          membaca       buku
   Dia         membeli         baju
   Ani         makan            kue
   Amat      minum          susu

2.3.  Aliran Praha
Aliran Praha terbentuk pada tahun 1926 atas prakarsa salah seorang tokohnya, yaitu Vilem Mathesius ( 1882 – 1945 ). Tokoh – tokoh lainnya adalah Nikolai S. Trubetskoy, Roman Jakobson, dan Morris Halle. Pengaruh mereka sangat besar disekitar tahun tiga puluhan, terutama dalam bidang fonologi.
Dalam bidang fonologi aliran Praha inilah yang pertama-tama membedakan dengan tegas akan fonetik dan fonologi. Fonetik mempelajari bunyi-bunyi itu sendiri, sedangkan fonologi mempelajari fungsi bunyi tersebut dalam suatu sistem. Begitu juga dalam istilah fonem, yang dalam sejarahnya berasal dari bahasa Rusia fonema, lalu digunakan oleh sarjana Polandia Baudoin de Courtenay untuk membedakan pengertian fonem dari fon ( bunyi ), dan selanjutnya diperkenalkan oleh sarjana Polandia lainnya, yaitu Kruzewki; akan tetapi yang menggunakan dan memperkenalkan  dalam analisis bahasa adalah para linguis aliran Praha ini, seperti tampak dalam buku Trubetskoy Grundzuge der Phonologie ( terbit 1939 ).
Struktur bunyi dijelaskan memakai kontras atau oposisi. Ukuran untuk menentukan apakah bunyi-bunyi ujaran itu beroposisi atau tidak adalah makna. Perbedaan bunyi yang tidak menimbulkan perbedaan makna adalah tidak sigtingtif. Artinya, bunyi-bunyi tersebut tidak fonemis. Sedangkan yang menimbulkan perbedaan makna adalah distingtif; jadi, bunyi-bunyi tersebut bersifat fonemis. Dalam bahasa Indonesia bunyi /l/ dan /r/ adalah dua buah fonem yang berbeda, sebab terdapat oposisi diantara keduanya seperti tampak pada pasangan kata lupa dan rupa. Dalam bahasa Jepang bunyi /l/ dan /r/ itu tidak distingtif, karena tidak beroposisi satu dengan yang lainnya. Keduanya hanyalah varian dari fonem yang sama.
Fonem dapat dikelompokan ke dalam kelas-kelas sesuai dengan ciri-ciri perbedaan dan hubungan oposisi yang ada. Fonem-fonem p, t, k, b, d, g, m, n, dan ŋ dalam bahasa Indonesia dapat dikelompokkan sebagai berikut

a.           
                                                                            
                  tempat  artikulasi

cara
 artikulasi
Labial
dental
Velar
hambat
ttb
pp
tt
kk
bb
bb
d d
Gg
           Sengau
mm
nn
Ŋŋ

        Dari bagan di atas dapat dilihat bahwa fonem-fonem hambat tak bersuara p, t, dan k beroposisi dengan fonem-fonem hambat bersuara b, d, dan g; fonem-fonem labial p, b, dan m beroposisi dengan fonem dental t, d, n, dan fonem – fonem velar k, g, dan ŋ; selanjutnya fonem-fonem hambat p/b, t/d, dan k/g beroposisi dengan fonem-fonem sengau m, n, dan n.
Ada kemungkinan kontras yang terjadi pada suatu posisi tidak terjadi pada posisi lain. Dalam bahasa Indonesia, misalnya, kontras antara p dan b, dan antara t dan d dapat terjadi pada posisi awal dan tengah, seperti pada pasangan kata-kata pada contoh ( b ); tetapi tidak terjadi pada posisi akhir, seperti pada contoh ( c ), karena maknanya tetap sama.
b.         paku      X         baku                  tari        X         dari
            tepas    X         bebas                petang   X         pedang
c.         jawab    X         jawap                Abad      X         abat
Ketiadaan kontras seperti ini disebut netralisasi; dan varian yang yang dihasilkan dari netralisasi ini disebut arkifonem, yang lazim dilambangkan dengan huruf besar. Dalam contoh /jawab/ X /jawap/ arkifonemnya dapat dilambangkan dengan huruf /P/ dan /B/; dan dalam contoh /abad/ dan /abat/ arkifonemnya dapat dilambangkan dengan huruf /D/ atau /T/.
Dalam bidang fonologi aliran Praha ini juga memperkenalkan dan mengembangkan suatu istilah yang disebut morfonologi, bidang yang meneliti struktur fonologi morfem. Bidang ini meneliti perubahan-perubahan fonologis yang terjadi sebagai akibat hubungan morfem dengan morfem. Misalnya, pada contoh (c) kita lihat bahwa fonem /p/ dan /b/ tidak berkontras; tetapi bila kata /jawab/ yang mungkin dilafalkan /jawab/ atau /jawap/ diimbuhi sufiks-an, maka hasilnya adalah /jawaban/ dan bukannya /jawapan/.
Dalam bidang sintaksis Velam Mathesius mencoba menelaah kalimat melalui pendekatan fungsional. Menurut pendekatan ini kalimat dapat dilihat dari struktur formalnya, dan juga dari struktur informasinya yang terdapat dalam kalimat yang bersangkutan. Struktur formal menyangkut unsur-unsur gramatikal kalimat tersebut, yaitu subjek dan predikat gramatikalnya. Sedangkan struktur informasi menyangkut situasi faktual pada waktu kalimat itu dihasilkan. Struktur informasi menyangkut unsur tema dan rema. Yang dimaksud dengan tema adalah apa yang dibicarakan, sedangkan rema adalah apa yang dikatakan mengenai tema. Setiap kalimat mengandung unsur tema dan rema. Pada kalimat (d) Nenek adalah subjek gramatikal, dan kakek adalah objek gramatikal, dan dalm kalimat (e) kakek adalah subjek gramatikal dan nenek adalah objek gramatikal.
d.         Nenek melirik kakek.
e.          Kakek melirik nenek.

Namun, dalam beberapa hal subjek gramatikal tidak selalu berada di depan objek. Dalam kalimat (bahasa Inggris) berikut :
f.          This argument I can’t follow.

Subjek gramatikalnya adalah I, sedangkan this argument adalah objek gramatikal; tetapi, menurut pandangan aliran Praha, this argument adalah subjek psikologis atau tema; sedangkan I can’t follow adalah objek psikologis atau rema, bagaimana tema dan rema pada kalimat (g) berikut ?
g.         I can’t follow this argument.
Dalam kalimat tersebut subjek gramatikal dan tema menduduki tempet yang sama. Begitu juga dengan objek gramatikal atau rema.
        Demikianlah serba singkst pandangan aliran Praha ini mengenai fonologi dan sintaksis. Sumbangan aliran ini memang terutama dalam bidang fonologi dan sintaksis, sedangkan dalam bidang morfologi tidak terlalu banyak.

Abdul Chaer, linguistik umum