Cermat Dalam Berbahasa
Oleh Eva Rahmawati
Bahasa merupakan alat interaksi dan komunikasi yang umum digunakan manusia, bahasa dan manusia tidak dapat terpisahkan. Mengutip pendapat Abdul Chaer dalam Psikolinguistik (2002), fungsi bahasa adalah, bahwa bahasa itu adalah alat interaksi, sosial dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep, atau juga perasaan.
Era globalisasi tidak hanya mempengaruhi teknologi, gaya hidup, fesyen, budaya, dan kebutuhan yang lainnya tak terkecuali bahasa, terutama bahasa Indonesia. Di era globalisasi ini, perkembangan kosa kata yang begitu pesat menjadikan bahasa Indonesia yang sesuai kaidah jarang digunakan, hal ini mengakibatkan banyaknya kesalahan dalam berbahasa, tanpa kita sadari dapat diartikan berbeda dari apa yang diucapkan, oleh pendengar.
Sebenarnya, dalam menggunakan bahasa, merupakan suatu kreatifitas untuk menciptakan bahasa baru dan menambah perbendaharaan kata. Pada KBBI dalam waktu -/+ 20 tahun pada edisi ke-4 memuat lebih dari 90.000 lema yang semula hanya 62.100 lema pada tahun 1988. Hal ini menunjukan betapa pesatnya pembentukan kata baru setiap tahunnya.
Bahasa Indonesia adalah bahasa terpenting bagi Negara Indonesia, selain sebagai bahasa pemersatu dari suku-suku yang ada di Indonesia, bahasa Indonesia berfungsi sebagai jati diri bangsa. Ironisnya, bahasa saat ini banyak dipengaruhi oleh bahasa asing, bahasa yang dimaksud bukan bahasa asing yang dimiliki bangsa lain, melainkan bahasa yang jarang digunakan maupun didengarkan sebelumnya dan tidak terdapat didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI), sehingga terbentuk kosakata baru. Bahasa gaul merupakan salah satu bahasa yang diminati para remaja, karena bahasa gaul hanya dapat dimengerti dan dijadikan kode bahasa, sehingga hanya mereka yang mengerti arti dari kata tersebut pada saat berkomunikasi dengan sesama komunitas. Menurut Harimurti Kridalaksana (Kamus Linguistik), bahasa gaul ialah ragam nonstandar bahasa Indonesia yang lazim di Jakarta pada tahun 1980-an hingga kini yang menggantikan bahasa prokem yang lebih lazim pada tahun – tahun sebelumnya, ragam ini semula diperkenalkan oleh generasi muda yang mengambil dari kelompok waria dan masyarakat terpinggir lainnya.
Lalu, siapakah yang patut menjadi anutan dalam berbahasa Indonesia yang baik dan benar? menurut buku 1001 Kesalahan Berbahasa ( Zaenal Afirirn dan Farid Hadi) yang menjadi panutan ialah; Pertama, Kepala Negara mempunyai pengaruh yang sangat penting bagi masyarakatnya. Setiap kata selalu diperhatikan rakyatnya, demikian juga pemakaian bahasa presiden atau wakil presiden akan berpengaruh bagi pemakai yang lainnya. Kata yang diungkapkan oleh presiden atau wakil presiden akan dijadikan contoh dan ditiru oleh para pejabat yang lain dan oleh masyarakat luas. Contoh ucapan Suharto yang mengganti fonem “a” menjadi “e” pada afiks “kan”, misalnya memerintahkan menjadi memerintahken tentunya ditiru oleh masyarakat lain, karena sebagai penguasa oleh masyarakat dianggap hal itu tidak salah.
Kedua, guru dan dosen terutama di bidang bahasa Indonesia, guru dan dosen harus menguasai lebih dahulu kaidah – kaidah bahasa yang berlaku, bahkan agar para siswa dan mahasiswa terbiasa berbahasa yang benar, guru dan dosen lain pun diharapkan dapat membantu tugas guru bahasa Indonesia.
Ketiga, wartawan dan penerbit sangat besar peranannya dalam penggunaan bahasa. Oleh karena itu, suatu hal yang masuk akal jika wartawan dan penerbit perlu meningkatkan kemahiran dalam penggunaan bahasa yang baik dan benar dalam tulisan-tulisan mereka walau dilembaga tersebut mampunyai bahasa tersendiri yaitu bahasa jurnalistik. Tidak hanya surat kabar saja yeng berpengaruh dalam penggunaan bahasa yang baik dan benar dalam memberikan informasi, radiopun perlu diperhatikan, karena masih banyak penyiar yang menggunakan bahasa dan mengabaikan ajakan untuk mengguanakan bahasa Indonsia yang baik dan benar, selain itu, penyiar lebih senang memamerkan bahasa-bahasa baru atau alay seperti kata serius menjadi ciyus, demi apa ? menjadi miapa?. Seharusnya radio bersifat lebih mendidik dan bermanfaat bagi pendengar, apalagi radio dapat dijadikan anutan dalam penggunaan bahasa baku terutama bagi remaja saat ini.
Penggunaan EYD
Selain pejabat dan tokoh yang sudah disebutkan, sebenarnya masih banyak pejabat atau pemimpin harus menjadi anutan dalam berbahasa yang benar. Tidak hanya kesalahan dalam berbahasa, kesalahan EYD pun kerap terjadi misalnya pengguaan kata penghubung “dan”, tak jarang penulis menemukan kata penghubung “dan” pada awal kalimat maupun paragraf, yang biasanya penulis menemukannya di genre sastra, seperti novel dan cerpen. Kata “dan” digunakan sebagai kata penghubung yang menghubungkan dua kata atau lebih yang setingkat misalnya ibu dan ayah, penjual dan pembeli, dan sebagainya.
Pada dasarnya setiap orang sepantasnya memberi contoh yang tepat bagi orang-orang di sekitarnya. Kesalahan berbahasa dapat disebabkan beberapa faktor yaitu, petutur menggunakan bahasa tidak sesuai dengan kaidah dan tatabahasa, karena petutur sudah memiliki bahasa tersendiri contohnya bahasa yang digunakan preman atau anak pinggiran seperti berbicara ngawur jadi bacot, orang tua jadi bonyok, dan bahasa waria (banci) seperti begitu jadi begindang, aku jadi eike. Pembentukan kalimat kurang tepat, tak jarang satu kalimat dapat diartikan lebih dari dua atau ambigu, penggunaan fonem yang seharusnya diluluhkan tidak diluluhkan ataupun sebaliknya, dan penggunaan tanda baca yang kurang diperhatikan. Padahal tanda baca sangat mempengaruhi arti atau maksud dari kalimat yang ditulis.
Sebenarnya, kesalahan umum pemakaian bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari merupakan suatu hal yang wajar. Kesalahan umum berbahasa Indonesia timbul dikarenakan bahasa Indonesia sedang berkembang. Akan tetapi tidak berarti bahwa kesalahan berbahasa harus dibiarkan terus-menerus. Dengan segera, para pemakai bahasa harus berupaya meningkatkan penggunaan bahasa Indonesia yang sesuai dengan aturan yang berlaku.
Fajar Cirebon, 3 Januari 2014